Septyani Wahyu Pradani
21040114130095
Penanganan Kurang Tersedianya Ruang Terbuka di Wilayah
Indonesia
Kualitas
lingkungan Indonesia saat ini semakin menurun, khususnya di Pulau Jawa yang
menjadi pusat kegiatan ekonomi Indonesia. Semakin merosotnya kualitas
lingkungan sedikit banyak disebabkan oleh meningkatnya permintaan akan ruang
khususnya untuk permukiman dan lahan terbangun. Akibatnya Rencana Tata Ruang
yang telah dibuat tidak mampu mencegah alih fungsi lahan di perkotaan. Hal itu
mempegaruhi keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang semakin terancam dan keadaan
kota yang semakin tidak nyaman untuk ditinggali.
Ruang terbuka publik merupakan ruang yang
fungsi dan manfaatnya digunakan sepenuhnya untuk kepentingan publik atau
masyarakat untuk berkumpul, tempat rekreasi dan sebagai wadah interaksi sosial
yang diharapkan dapat mempertautkan seluruh anggota masyarakat tanpa membedakan
latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya (Azzaki
& Suwandono, 2013). Pada dasarnya setiap kota memiliki tipologi yang
berbeda-beda, sehingga ketersediaan dan kebutuhan RTH pun berbeda-beda.
Karenanya, ketentuan minimal luasan RTH publik yang ditentukan pemerintah dapat
menjadi persoalan tersendiri (Sari
& Kustiwan, 2010). Contoh saja di Pulau Jawa, lahan yang seharusnya digunakan
sebagai ruang terbuka justru terus menerus dialihfungsikan untuk permukiman
penduduk dan area industri. Dengan luas lahan yang minim dan jumlah penduduk
yang banyak mencapai 70 % penduduk Indonesia, dapat dibayangkan begitu kecilnya
RTH di Pulau Jawa. Minimnya RTH berpengaruh pada berbagai hal. Contoh
kongkritnya adalah polusi, dengan kurangnya pepohonan di area perkotaan yang
padat akan alat transportasi maka kadar karbondioksida semakin
bertambah, sedangkan tumbuhan yang berperan sebagai penghasil oksigen jumlahnya
tidak memadai. Jika sudah demikian, masyarakat akan lebih banyak menggunakan Air Conditioner (AC) yang dampak
besarnya adalah kerusakan ozon.
Pemerintah
Daerah berwenang penuh terhadap pengelolaan ruang terbuka hijau, dalam hal ini
Daerah Tingkat II baik Kotamadya maupun Kabupaten. Berdasarkan idealisme
tersebut, langkah yang harus diambil oleh Pemerintah Daerah, adalah mengadakan
evaluasi dan revisi Master Plan atau Rencana Induk Kota nya (Widjajanti,
2010). Perkembangan kota di masa mendatang sangat bergantung pada
ketersediaan ruang terbuka hijau, dengan perannya sebagai sarana terjadinya
proses alam di wilayah perkotaan dan sebagai unsur pencadangan yang dibutuhkan dalam
perkembangan kota masa depan menuju “Kehidupan Kota Berkelanjutan”. Jika tidak
sesegera mungkin diantisipasi dan dibenahi, maka nantinya kota-kota besar di
Indonesia khususnya di Pulau Jawa hanya
akan mejadi tempat ‘kumuh modern’ yang dipenuhi bangunan tinggi yang saling
berdesakan, tempat manusia terjebak di dalam kota yang sesak, panas, lembab,
berdebu, dan rawan bencana khususnya banjir.
Dengan
demikian, keberadaan Ruang Terbuka Hijau sangat dibutuhkan bagi keberlangsungan
hidup masyarakat. Selain dengan wewenang pemerintah, tindakan dari masyarakat
sendiri sangat dibutuhkan bagi terselenggaranya pelestarian dan pembenahan RTH.
Langkah yang dapat ditempuh dapat berupa pendekatan, penyuluhan, dan pembinaan
secara langsung dan intens dari pemerintah kepada warga masyarakat yang
bersangkutan.
Referensi :
Azzaki, M. R., & Suwandono, D.
(2013). Persepsi Masyarakat terhadap
Aktivitas Ruang Terbuka Publik di Lapangan Pancasila Simpang Lima, Semarang.
Jurnal Ruang, 1, 10.
Sari, R., & Kustiwan, I.
(2010). Kajian Ketersediaan dan Kebutuhan
Ruang terbuka Hijau Publik di Kota Pesisir (Kasus: Kota Surabaya dan Bengkulu).
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B
SAPPK, 21, 9.
Widjajanti, W. W.
(2010). Keberadaan dan Optimasi Ruang
Terbuka Hijau Bagi Kehidupan Kota. 7.
0 komentar:
Posting Komentar